Rumah Buku Citra Gading: Memulai Lagi dari Nol
Oleh Gola GongJika mendapatkan kenikmatan, maka bersyukurlah. Ketika mendapat musibah, itu ujian dari Allah dan bersabarlah. Itulah yang membuat kami ingin memaknai hidup ini. Selama di Rumah Dunia, kami banyak mendapatkan kenikmatan. Kegiatan-kegiatan sejak 2001 hingga kini lancar. Para donatur silih berganti berinfak-sodaqoh; uang atau pun buku. Para relawan dan media partner seperti Radar Banten, Banten Raya Post, Suhud Media Promo, Indo.Pos, Top FM, Dimensi FM, dan Harmony FM membesarkan Rumah Dunia. Juga dukungan dan doa orang tua, masyarakat Hegar Alam, serta kampung Ciloang, Rumah Dunia menggelinding mengajak kawula muda Banten menuju generasi baru yang cerdas, kritis, dan bernurani. Dengan sastra dan jurnalistik, mereka menjadi lembut dan kritis menyikapi persoalan. Dengan teater, musik, rupa, mereka bergembira menghargai perbedaan dalam hidup ini.
PINDAH - NOL
Dengan buku, kami mencoba membacai sekeliling. Seperti kata para cagub Banten dalam visi-misinya, Banten tetinggal karena kebodohan dan kemiskinan. Maka kami ingin berbagi waktu dan pikiran memerangi kebodohan. Kami memiliki banyak buku untuk memerangi kebodohan. Embay Mulya Syarif, tokoh masyarakat Banten, mengirimi kami SMS, bahwa jihad membangun Banten bisa lewat politik, ekonomi, budaya dan seni.
Maka setelah proses regenerasi di Rumah Dunia lancar, kami pindah ke Komplek Citra Gading, Cipocok, menuju arah ke Curug, Petir, 3 kilometer sebelah selatan Rumah Dunia. Tidak begitu jauh. Kini Rumah Dunia diurus presidennya; Firman Venayaksa (dosen Sastra Untirta) dan para mentrinya; Piter, Ibnu, Bahroji, Rizal, Roni, Deden, Qopal, Awi, dan Roy.
Kami memulai lagi dari nol; mengontrak rumah di Komplek Citra Gading, di depan mesjid Jami Baitul Muslimin, persis di jalan utama. Rumah milik Erni dan Dodi, di Blok G1/9, tipe 36, dua kamar, dan 1 kamar mandi. Terasa sesak bagi keempat anak kami. Berbeda saat mereka berpetualang di Rumah Dunia yang luas. Tapi kami mensyukuri nikmat ini, karena banyak orang tidak memiliki tempat bernaung.
TERAS - DONGENG
Di depan rumah ada teras; sisi kiri untuk garasi, dan sisi kananya seluas 2,5 X 3 m., oleh Mang Maryani, arsitek Rumah Dunia, disulapnya jadi ruang baca. Kami beri atap dan kerey. Kami simpan kursi bambu, beberapa kursi anak dari kayu jati pemberian Ny. Djoko Munandar, 2 rak buku anak-anak sumbangan Zulkiflimansyah (cagub PKS/PSI) dan persediaan Rumah Dunia, serta dari perpustakaan pribadi.
Kami menggoreskan kwas di triplek kecil: Rumah Buku Citra Gading. Warnanya kuning dengan lis hitam. Lalu kami mengabari lewat SMS ke Sudiyati (Kepala perpusda) Yaya Suhendar (Akuisisi dan Program Perpusda), Wan Anwar (Kajur Diksastrasia Untirta), Rahmiana Batubara (Kepala Sekolah SD Peradaban), dan Irham (Pusat Konservasi Kawasan Lindung). Anwar beranalogi, ”Gola Gong ini bukan pendukung poligami. Jadi, konpensasi dia membuat komunitas baca kedua, ketiga, dan seterusnya.”
Anwar juga memberi masukan tentang TPA dan Diniyah (sekolah agama) di mesjid Jami Baitul Muslimin di depan rumah kami. ”Sebaiknya ’Rumah Buku Citra Gading’ menyesuaikan dengan TPA dan Diniyah. Kalau perlu bekerja sama.” Sedangkan Yaya Suhendar berjanji akan mengirimkan bantuan buku dari hasil rekor MURI Banten Membaca.
Kami belum seratus persen tinggal di Rumah Buku Citra Gading. Kami harus mengurusi bayak hal dengan para relawan di Rumah Dunia. Juga memberesi rumah kami yang beralih fungsi jadi kantor ”Jendral Kecil”, ”Gong Media Cakrawala”, dan mess para relawan, serta rumah Emak-Bapak di areal Rumah Dunia, yang dijadikan ruang-ruang kelas ”Jendral Kecil” dengan konsep multiple intelligence. Selain itu, tentu kami harus berpamitan dengan warga Hegar Alam dan Ciloang, yang selama ini membantu dan mendukung kami selama ini.
Tapi, sejak akhir November ”Rumah Buku Citra Gading” sudah kami titipkan kepada tetangga; Ading (pegawai Setda Provinsi Banten) dan istrinya, serta keluarga Sihombing, yang membuka bengkel motor di pertigaan Cipocok-Sempu. Sejak itu anak-anak sudah banyak berdatangan ke ”Rumah Buku Citra Gading”. Menurut Bu Ading, mereka senang. Begitu juga Bu Osta dan Bu Budi. ”Anak-anak kami ingin ada kegiatan seperti di Rumah Dunia,” kata Bu Osta, yang pernah ke Rumah Dunia.
Tias – istriku, Bella, Abi, Jordi, dan Kaka, juga ikut senang. Kamis siang itu (30/11), baru saja kami tiba, muncul serombongan anak-anak usia Sekolah Dasar menguluk salam. Ternyata mereka ingin berkunjung. Mereka mengatakan, sudah seminggu ini saat kami masih di Rumah Dunia, sering datang.
Ada rasa bahagia yang menggelegak melihat mereka memilih-memilih buku yang kebanyakan berbahasa Inggris. Tias tergerak melakukan sesuatu untuk mereka. Ini seperti deja vu, saat kami merintis Rumah Dunia pada akhir 2001-an. Hal paling awal kami lakukan adalah mendongeng; membacakan buku. Saat Tias menanyakan, apakah mereka mau mendengarkan dongeng, mereka langsung mengiyakan. Tias mengambil buku cerita pop up (ilustrasi buku dibuat terlipat ke depan saat kita buka tiap halamannya, seolah tiga dimensi), berjudul Push in Boots, salah satu cerita favoritnya. Tias menghabiskan buku itu, lalu memberi review di akhir cerita dengan menanyakan kembali jalan cerita tiap halamannya, disambut dengan antusiasme anak-anak.
Usai acara baca buku, Tias meminta mereka maju ke depan, saling mengenalkan diri. Sama seperti anak-anak umumnya, mereka saling tunjuk teman untuk maju lebih dulu. Tapi ada pula yang dengan percaya diri berbicara di depan teman-temannya. Siang itu kami mengantongi nama-nama: Dikit dan Salman (klas 5 SDN Cilaku), Andri (SMPN 4 Serang), Faris, Faisal, dan Adam (klas 6 SDN Cipocok Jaya 1). Mereka sangat gembira bisa membaca buku dan mendengarkan dongeng. Bahkan beberapa anak lainnya yang sekolah di SDN 4 Cipocok Jaya, menganggap Rumah Dunia pindah ke Citra Gading.
Senin, 4 Desember 2006, Insya Allah kami ke Pak RT; melapor secara resmi, menjadi warga Citra Gading dan bersiap menggulirkan kegiatan di Rumah Buku. Kami akan memulai seperti halnya ketika kami merintis Rumah Dunia; bermula dari yang kecil, berwawasan luas, dan terus berkarya. Kami tahu, anak-anak di sini dari segi intelektual sudah di aras rata-rata warga Ciloang. Dari segi sosial-ekonomi, di sini relatif lebih mapan. Semoga ini mempermudah dalam menyebarkan virus ”pena adalah senjata tajam untuk melawan kebatilan” kepada anak-anak Citra Gading. Dakwan bil qalam menjadi semangat kami. Memperkenalkan mana yang baik mana yang buruk, mana yang hak mana yang batil sejak dini pada anak-anak sangatlah baik. Doakan saja, ya! ***
Citra Gading, 2 Desember 2006
0 Silakan kasi komen
Post a Comment
Makasih buat komennya ^_^
<< Home